Rabu, 07 Maret 2012

KAPITALISASI POLITIK DALAM MEREBUT KEKUASAAN DALAM PEMERINTAHAN

Pemilihan Umum Sebagai Konspirasi Politik
            Pemilihan umum (Pemilu) akhir-akhir ini (red: 2004) berbeda dengan pemilu-pemilu yang pernah diselenggarakan di Indonesia selama ini. Untuk pertama kalinya rakyat dapat memilih langsung anggota DPR, DPRD Provisinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD bahkan Presiden dan wakil Presiden[1]. Pelaksanaan dari pemilihan umum ini menandakan keberhasilan Indonesia dalam melaksanakan demokrasi yang digembor-gemborkan Amerika Serikat yang katanya sebagai bapaknya demokrasi. Indikasinya dengan menghitung partisipasi masyarakat Indonesia dalam melaksanakan pemilihan umum itu.
            Demokrasi yang mendewakan rakyat sebagai suara tuhan mampu membuat wajah politik Indonesia di dunia luar menjadi terkenal. Kekuasaan yang berada di tangan rakyat menginginkan bahwa rakyat menjadi penentu kebijakan untuk penentuan arah pemerintahan dengan mewakilkannya kepada wakil-wakil yang dipilih lansung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
            Wakil-wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat dengan mewakili partai politik yang mengusungnya adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak di daerah masing-masing. Partai politik menjadi sebuah jalan untuk para calon wakil rakyat dalam menarik simpati publik. Akan tetapi apabila ditelusuri lebih detail lagi, bahwasannya wakil rakyat yang mencalonkan diri pada parpol tersebut banyak yang tidak punya kemampuan untuk urusan pemerintahan. Mereka hanya memiliki modal untuk dapat membeli suara rakyat dalam pentas acara lima tahunan tersebut.
            Padahal, tujuan pembentukan dari partai politik itu dapat dikatakan sudah sesuai dengan keinginan rakyat pada umumnya[2]. Ini akan menjadikan bahwa partai politik adalah wujud dari aspirasi rakyat dan merupakan roh yang dapat mewujudkan cita-cita tinggi bangsa Indonesia. sebagai arah dari kemakmuran rakyat  yang diperjuangkan oleh masing-masing partai politik ini membuat partai politik mempunyai identitas tersendiri dalam meraih untuk mewujudakn cita-citanya masing-masing partai.
            Pembentukan, pemeliharaan dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga Negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat[3]. Dari partai politik inilah partisipasi politim warga Negara jadi indikasi dalam partisipasinya di dunia perpolitikan nasional dan merupakan wujud dari pelaksanaan salah satu pasal dalam UUD 1945. Dengan adanya kebijakan ini, membuat warga Negara yang haus akan kekuasaan terus berlomba-lomba untuk membuat partai politik[4] dengan maksud hanya untuk memperoleh kekuasaan semata.
            Namun, arah dari pemilihan umum sendiri tidak sampai pada tujuan dan fungsi partai politik sendiri. Banyaknya kesenjangan yang terjadi selama pemilihan umum ini (red: pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang pernah penulis rasakan). Banyak partai yang bermunculan, membuat masyarakat binging dalam menentukan pilihannya. Karena pada dasarnya, setiap parpol sama menawarkan janji-janji yang arahnya yaitu untuk menuju pada kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, banyak partai yang baru, berarti banyak pula janji untuk kesejahteraan rakyat dengan banyaknya pula cara-cara untuk dapat menempuh kesejahteraan rakyat tersebut.
            Tapi kenyataannya, kesejahteraan rakyat partai perjuangkan tidak terwujud juga sampai saat ini. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum sibuk mengurus urusannya masing-maasing dengan mengesampingkan urusan Negara yang sudah menjadi amanat rakyat ini. Mereka lebih mengedepankan kesejahteraan para kadernya dibandingkan dengan kesejahteraan rakyat yang telah mereka ucap-ucapkan sebelumnya. Partai politik yang kalah, sibuk untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan maksud untuk menarik simpati rakyat. Sebagai investassi suara untuk pemilu berikutnya. Mereka beroposisi  dalam mengawal pemerintaha yang sedang berlangsung. Sedangkan dari esensi kesejahteraan rakyat yang mereka janji-janjikan pada waktu kampanye, mereka lupakan begitu saja.
                        Maka, tidak aneh apabila banyaknya pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia banyak diwarnai dengan tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya (Golput)[5]. Ini dikarenakan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu telah luntur. Dengan melihat fenomena seperti ini, dapat disimpulkan bahwa di dalam pemilu yang akhir-akhir ini ada konspirasi kepentingan politik tersendiri sehingga menimbulkan kesenjangan yang sangat signifikan. Konspirasi yang dimaksud yaitu persekongkolan rahasia dan komplotan (kejahatan)[6], yang didalamnya terdapat indikasi untuk dapat mengahncurkan Indonesia baik dari bidang politik maupun aspek kehidupan yang lain.
Maraknya kapitalisai politik
            Apabila kita korelasikan dengan keadaan yang sekarang terjadi, bahwasannya posisi politik dari masing-masing kekuasaan diduduki oleh orang-orang yang mempunyai uang banyak dalam kata lain yang mempunyai modal besar dalam meraih kedudukannya. Siapa yang punya modal besar maka dia yang berkuasa. Dalam istilah yang sekarang ini disebut sebagai politik capital (modal politik). Selain kemampuan yang mumpuni juga modal yang besar sebagai penunjangnya. Tanpa melihat kemampuan dan keahliannya dalam memimpin masyarakat dalam rangka mencapai satu tujuan yakni kesejahteraan masyarakat.
            Kapitalisasi pilitik ini bermakna bahwa yang berhak menduduki kekuasaan ini adalah hanya orang-orang yang bermodal (capital)[7]. Orang yang tidak mempunyai modal (uang) tidak dapat menduduki posisi politik meskipun secara kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman mereka dapat menjadi pemimpin dan teladan sehingga dapat tercapai kesejahteraan rakyat. Apa yang menjadi permasalahan tentang perebutan kekuasaan ini dilakukan pada proses pemilihan umum.
            Meskipun telah terjadi penurunan kepercayaan terhadap pemilihan umum, pemerintah masih tetap melaksanakannya. Golput salah satu contoh aksi massa sosial yang dilakukan masyarakat terhadap penurunan kepercayaan pemilihan umum ini kepada pemerintah. Munculnya golput dalam pilkada tidak lepas dari kecenderungan pemilih yang belakangan ini lebih kritis dan apatis[8]. Indicator ini dirasakan pemerintah sebagai gejala sosial yang harus dihilangkan dan lebih penting pula untuk disadarkan.
            Proses dalam memperoleh kekuasaan yang sulit inilah yang menjadikan modal dalam berpolitik (politik capital) harus besar. Karena indicator yang dijadikan yaitu suara-suara pemilih maka para pemilik modal besar tersebut dengan mudah dapat menarik simpati pemilih yaitu dengan memberikan uang yang masyarakat Indonesia notabenenya kurang sejahtera dan kurang berpendidikan. Maka dapat dengan mudah untuk dibohongi dan dikelabui. Karena modal yang besar membuat pengeluaranny pun menjadi meningka, sedangkan penerimaan dari gaji yang didapat dari gaji sangat kecil. Ini akan menimbulkan kecenderungan orang yang telah terpilih nantinya untuk melakukan korupsi dengan tujuan untuk dapat mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan.
Islam Menjawab Kapitalisasi Politik
            Dalam menanggapi problema politik yang sekarang semakin marak, islam menjadi sebuah tawaran solusi dalam menyelesaikan terkait dengan adanya kecenderungan bahwa penguasa negeri ini diperuntukan hanya kepada mereka yang mempunyai modal besar (kaum kapitalis). Islam memandang ini adalah sebagai paradigm dan gejala sosial semata. Karena semua perbedaan yang terjadi terkait masalah sosial dan keduniawian ini mewajibkan masyarakat islam termasuk pula umat manusia seluruhnya untuk melakukan musyawarah[9]. Musyawarah mufakat yang diutamakan, karena pemilihan umum yang seperti sekarang dilakukan adalah masalah teknis yang tidak fundamental harus dilakukan pada suatu Negara demokrasi. Demokrasi akan dapat daihargai apabila suara rakyat dapat didengar oleh pemerintahnya dan kesejahteraan masyarakat lebih diprioritaskan. Akan tetapi pada konteks yang saat ini terjadi, bahwasannya demokrasi yang dilaksanakan sudah slah jalan. Bahkan lebih sadis, malahan membuat rakyat semakin sengsara dengan adanya demokrasi tersebut.
            Menanggapi pemilu yang dengan pembangkangannya yaitu golput. Islam tidak melarang sikap umatnya yang tidak menggunakan hak pilih alias golput. Bahkan golput sendiri adalah mubah atau diperbolehkan[10]. Secara tidak langsung golput juga menjadi sebuah permasalahan dalam islam yang memerintahkan untuk taat kepada pemerintahan[11]. Ini menandakan bahwa ada dua sisi yang berbeda dalam islam memandang suatu masalah keumatan.
            Adapun untuk orang yang bermodal dalam mencapai kekuasaan itu sah-sah saja, karena pemimpin harus punya segalanya. Asalakn pergunakan kepemimpinan itu dengan adil dan bijaksana[12] dalam mengeluarkan sebuah kebijakan, apalagi kebijakan untuk kesejahteraan masyarakat.
            Dalam islam sikap kepemimpinan yang ideal yakni orang yang dapat menanamkan sikap amanah dalam dirinya karena kekuasaan adalah sementara yang harus dimanfaatkan dalam ragka beribadah kepada Allah SWT. Sikap yang kedua yaitu fatonah yakni cerdas, seorang pemimpin harus dapat memberikan solusi yang adil dalam menyelesaikan suatu masalah agar tidak terjadi keberpihakan pada suatu golongan/kelompok, yakni dengan inovasi dan kreasi di dalm dirinya. Selanjutnya dia dapat bersikap sidiq (jujur), pemimpin yang jujur akan berkata apa adanya sesuai dengan kenyataan yang benar-benar dialami. Kejujuran adalah sebuah kesuksesan seseorang dalam melakukan kepemimpinan, karena dengan kejujuran kebohongan apapun yang tersembunyi akan terbongkar. Sikap yang terakhir yang perlu dimiliki oleh setiap pemimipin yaitu tabligh (menyampaikan), penyampaian seorang pemimpin kepada orang yang dipimpinnya menandakan bahwa kepemimpinan yang  dibawakannya jauh dari kebohongan dan kebiadaban dengan mengutamakan transparansi kepemimpinan.
Kesimpulan
            Tanpa disadari bahwa system politik Indonesia telah masuk ke dalam jurang kenistaan yang sangat terjal yang sulit untuk dapat kembali naik dan menapaki jurang tesebut. Dapat dikatakan, politik Indonesia telah mengalami degradasi ke arah kehancuran. Meskipun banyak bangsa luar yang memuji dengan telah terlaksananya pemilihan umum yang menjadi teknis dalam menentukan pemangku kekuasaan. Pemilihan umum menyangkut teknik untuk mengukur sejauh mana kuantitas masyarakat atau pemilih dalam menentukan suara yang dimilikinya kepada seorang calon.
            Masalahnya, dalam menggalang suara untuk mendapatkan banyaknya pemilih untuk dapat memilihnya, sorang calaon menggunakan cara yang tidak sehat dan bertentangan dengan syariat islam, yaitu dengan menyogok pemilih agar waktu pemilihan memilihnya (money politik). Cara ini digunakan oleh mereka yang mempunyai modal besar dengan kemampuan yang tidak mumpuni. Maka kepemimpinan yang dia pimpin pun semakin amburadul karena ketidakckapannya dia dalam memimpin. Dengan uang yang dia miliki, semakin banyak uang yang dikeluarkan untuk membeli hati rakyat maka dia akan mendapatkan suara yang banyak. Ini merupakan kapitalisasi politik yang perlu dihilangkan dari kehidupan berpolitik di Indonesia.
            Hasilnya, muncullah pemimpin yang tidak memiliki kemampuan di dalam bidangnya dan terkesan hanya untuk nampang saja. Selain itu juga, pemimpin yang korup. Tidak adanya keterampilan dalam bidang pemerintahan atau tata Negara yang dipimpinnya, sehingga membuat carut marut pemerintahan. Pemimpin yang korupsi disebabkan karena mereka telah merasa mengeluarkan modal yang besar maka modal tersebut harus kembali dan bahkan bagaimana caranya untuk bisa menambah keuntungan. Segala cara pun akan dilakukan demi mencapai tujuannya yaitu balik modal dan memperkaya diri.
            Solusinya adalah menciptakan pemimpin yang sidiq, amanah, fatonah dan tabligh dengan ideology tauhi yang melekat pada diri pemimpin tersebut. Dalam konteks saat ini, pemimpin yang kreatif dan inovatif menjadi andalan pembentukan pribadi leadership. Dengan pembentukan pemimpin yang sesuai dengan agama islam dan pedomannya Al-qur’an dan Hadist, maka masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT, Baldatun Thayyibatun WarRabbun Gofur pun akan terwujud.
           


[1] Komisi pemilihan umum. Himpunan Undang-undang Bidang Politik. Hal i
[2] Ibid. hal 3
[3] Ibid. hal 1
[4] Ibid. hal 4
[5] Medium. Tinjauan Berita dwi Mingguan. 17-30 Nopember 2007. Hal 42
[6] Dhonny kurniawan S.Pd. kamus Praktis Ilmiah popular. Hal 215
[7] Ibid. hal 195
[8] Medium. Tinjauan Berita Dwi Mingguan. 17-30 Nopember 2007. Hal 44
[9] Al-Qur’an. Q.S Asy-Syura: 38
[10] Medium. Tinjauan Berita Dwi Mingguan. 17-30 Nopembe
[11] Al-Qur’an. Q.S An-Nisa: 59
[12] Ibid. Q.S An-Nisa; 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar